Kamis, 24 Desember 2009

Keraguan dan Konflik

Keraguan dan Konflik

A. Keraguan

Dari sampel yang diambil W.Starbuck terhadap mahasiswa Middle burg College, tersimpul bahwa dari remaja usia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan, keadaan lembaga keagamaan, dan para pemuka agama.

Dari analisis hasil penelitiannya W.Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara lain adalah faktor:

1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin.

a. Bagi seseorang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Biasanya, hal semacam itu lebih membekas pada diri remaja yang sebelumnya adalah penganut agama yang taat.

b. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Keraguaan wanita lebih bersifat alami sedangkan keraguan pria lebih bersifat intelek.

2. Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama

Timbulnya berbagai lembaga keagamaan, organisasi, dan aliran keagamaan menyebabkan keraguan bagi orang dalam beragama.

3. Pernyataan Kebutuhan Manusia

Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosty (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia. Ia terdorong untuk mempelajari agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimilikinya maka akan timbul keraguan.

4. Kebiasaan

Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.

5. Pendidikan

Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang terpelajar akan menjadi lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat digmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yag dianutnya itu secara lebih rasional.

6. Percampuran antara agama dan mistik

Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik.

Selanjutnya, secara individu sering pula terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai:

1. Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama kristen) status ke-Tuhanan sebagai Trinitas.

2. Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagugan tempat-tempat suci agama

3. Alat-alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rosario dalam Kristen.

4. Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan.

5. Pemuka agama, Birawan dan Biarawati.

6. Perbedaan aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kristen), atau mazhab (Islam).

Keragu-raguan yang demikian akan menjurus ke arah munculnya konflik dalam diri para remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan buruk, serta antara yang benar dan yang salah.

B. Konflik

Keraguann dan konflik saling berkaitan satu sama lain, karena munculnya konflik disebabkan keragu-raguan beragama yang dihadapi oleh sebagian be sar para remaja. Hal ini menyebabkan mereka dihadapkan kepada pemilihan antara yang baik dan buruk serta yang benar dan salah.

Adapun Konflik ada berapa macam di antaranya yaitu:

1. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.

2. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.

3. konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme.

4. konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang diddadasarkan atas petumjuk ilahi.

Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnyabanyak tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Secara fisik remaja mengalami pertumbuhan yang pesat, dan sudah menyamai fisik orang dewasa. Namun, pesatnya pertumbuhan fisik itu belum diimbangi secara setara oleh perkembangan psikologisnya. Kondisi seperti itu menyebabkan remaja berada dalam suasana kehidupan batin terombang-ambing.

Dalam upaya mengatasi kegagalan batin ini, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer group (teman sebaya), untuk saling berbagi rasa dan pengalaman. Di luar itu, kebutuhan remaja akan sososk pelindungg mendorong mereka untuk memilih sosok idola. Kemudian untuk mermenuhi kebutuhan emosionalnya, maka para remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika. Dalam kaitan ini pula, sebenarnya nilai-nilai agama dapat diperankan sebagai bimbimngan rohaniah.

Namun demikian nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sejalan dengan perkembangan inteleknya,remaja sering dibingungkan oleh adanya perbedaan ajaran agama yang mereka terima. Secara logika remaja berpegnag pada prinsip, bahwa bila agama merupakan ajaran yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa, mengapa dalam informasi yang mereka terima dijumpai berbagai perbedaan apalagi sosok yang mereka idolakan menampilkan perilaku yang kurang terpuji. Semula remaja mengharapkan ajaran yang sarat akan nilai-nilai moral dan mampu menentramkan batin, ternyata tidak sepenuhnya benar.

Sikap kritis terhadap lingkungan memang sejalan dengan perkembangan intelektual yang di alami para remaja. Bila persoalan itu gagal diselesaikan, maka para remaja cenderung untuk memilih jalan sendiri. Dalam situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja berada di persimpangan jalan. Sehingga peluang munculnya perilaku yang meyimpang terkuak lebar.

Bila tindakan serupa itu dilakukan, remaja akan terbelit dalam situasi kemelut kehidupan batin yang baru. Di satu sisi. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan mereka dibekali potensi keberagamaan. Benih-benih itu tetap terpelihara dalam dirinya yang berperan dalam menumbuhkan rasa kesadarn beragama. Tetapi, dipihak lain mereka sudah melakukan berbagai tindakan yang menyalahi tuntunan ajaran agama. Bila rasa bersalah dan berdosa (sense of guilt) yang lebih dominan, biasanya remaja cenderung untuk kembali mencari jalan "pengampunan". Sebaliknya, bila perilaku menyimpang dianggap sebagai "pembenaran", maka keterlibatan itu menyebabkan mereka akan terbiasa dengan pekerjaan tercela itu.

Menghadapi gejala seperti itu, nilai-nilai ajaran agama sebenarnya dapat difungsikan. Tokoh dan pemuka agama memiliki peran strategis dalam mengatasi kemelut batin remaja, bila mereka mampu melakukan pendekatan yang tepat. Sebaliknya bila gagal, maka kemungkinan yang terjadi adalah para remaja akan menjauhkan diri dari agama, mencari agama baru, atau rujuk ke nilai-nilai agama yang dianutnya dan mengubah sikap menjadi lebih taat. Tampaknya para pemuka agama dan pendidik agama perlu merumuskan paradigma baru dalam menjalankan tugas bimbingannya dengan berorientasi pada pendekatan psikologi, perkembangan yang serasi dengan karakteristik yang dimiliki remaja. Dengan tujuan agar para remaja mengetahui bhawa ajaran agama tidak hanya menampilkan dosa, pahala, surga, neraka,maupun siksa dan ganjaran. Ajaran agama hendaknya menampilkan nilai-nilai yang berkaitan dengan peradabamn manusia secara utuh. Didalamnya terkemas aspek kognitif, afektif, psikomotor secara berimbang. Pada aspek kognitif nilai-nilai ajaran agama diharapkan dapat mendorong remaja untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya secara optimal. Sedangkan, aspek efektif diharapkan nilai-nilai ajaran agama dapat memperteguh sikap dan perilaku keagamaan. Demikian pula, aspek psikomotor diharapkan akan mampu menanamkan keterikatan dan keterampilan lakon keagamaan.

Berangkat dari pendekatan itu, diharapkan para remaja akan meliahat bahawa agama bukan sekedar lakon ritual semata. Agama bukan sebagai alat pemasung kreatifitas manusia, melaiinkan pendorong utama. Agama yang mengandung nilai-nilai ajaran yang sejalan dengan fitrah manusia, universal, dan bertumpu pada pembentukan sikap akhlak mulia. Selain itu, mereka juga akan ikut sadar bahwa ruang lingkup ajaran agama juga mencangkuop peradaban manusia, perlindungan, dan pemeliharaan terhadap mekhluk Tuhan. Nilai-nilai ajaran agama menjadi terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya insani yang dibutuhkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia secara individu maupun manusia pada umumnya.

Daftar Pustaka

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar