Selasa, 29 Desember 2009

BAB I :Uraian Pluralisme Agama

A. Pengertian Pluralisme

Secara Etimologis, Pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “Pluralisme” dan “Agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan “Al-Ta’addudiyah al-dinniyyah” dan dalam bahasa inggris “Religious Pluralism”.[1] Kata Pluralisme agama yang kita kenal selama ini merupakan terjemahan dari bahasa inggris dimana “Pluralism” berarti “jama” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa inggris kata Pluralism mempunyai tiga pengertian yaitu

a. Pertama, Pengertian kegerejaan

b.Kedua, Pengertian Filosofis, yakni sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar, yang lebih dari satu.

c. Ketiga, Pengertian Sosio-politis adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi

keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik, diantaranya kelompok-kelompok tersebut.[2]

Untuk mendefinisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi “Fungsi”,”Institusi”,dan “substansi”.[3] Dr. Muhammad Abdullah Darraz mempunyai pendapat lain, menurutnya agama dapat didefinisikan dari dua aspek:

a. Pertama, sebagai keadaan psikologis , yakni: Religiusitas, dengan demikian agama adalah kepercayaan atau iman kepada zat yang bersifat Ketuhanan, yang patut ditaati dan disembah.

b. Kedua, Sebagai Hakikat Eksternal, bahwa agama adalah seperangkat panduan teoritis yang mengajarkan konsepsi Ketuhanan dan seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya.

Para ahli sejarah sosial, cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan dari yang lain, yang sejenis. Sedangkan para ahli Sosiologi dan Antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial.

Adapun pengertian agama dalam wacana pemikiran barat telah mengundang perdebatan dan polemik yang tak berkesudahan, baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi, maupun dibidang ilmu perbandingan agama sendiri. Sehingga sangat sulit untuk mendefinisikan agama itu sendiri.

Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama antar agama, yang masing-masing penganut agama tersebut memegang ajaran agamanya masing-masing. Menurut Jhon Hick[4], “Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut-dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.

B. Sejarah dan Perkembangan Pluralisme Agama

Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.[5]

Ketika memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi barat. Tokoh yang tercatat pada barisan pemula muncul dengan gigih mengedepankan gagasan ini adalah seorang teolog kristen Liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul The Place of Christian ity among the World Religions (Posisi Agama Kristen diantara agama-agama Dunia) yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford menjelang wafatnya pada tahun 1923, Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif bahwa dalam semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak, konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak hanya satu.[6]

Setelah Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya barat.

Kemudian di lain pihak, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir-pemikir Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).

C. Sebab-sebab timbulnya teori Pluralisme Agama

Sebab-sebab lahirnya teori Pluralisme agama banyak dan beragam, sekaligus kompleks. Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor Eksternal, yang mana antara satu faktor dengan faktor lainnya saling mempengaruhi dan saling berhubungan erat. Faktor Internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth claims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah aqidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau Doktrin “keterpilihan”. Faktor ini sering juga dinamakan dengan faktor Ideologis. Adapun faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu faktor sosiopolitis dan faktor ilmiah.

Adapun Faktor-faktor tersebut adalah

A. Faktor Internal (Ideologis)

Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar dan paling superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal aqidah, mazhab, dan ideology (baik yang berasal dari wahyu Allah maupun dari sumber lainnya). Dalam konteks ideologi ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang pertama mereka yang beriman dengan teguh terhadap wahyu langit atau samawi, sedangkan kelompok yang kedua adalah mereka yang tidak beriman kecuali hanya kepada kemampuan akal saja (rasionalis).

Perbedaan cara pandang dalam beriman dan beragama secara otomatis akan mengantarkan kepada perbedaan dan pertentangan di setiap masalah dalam menentukan kebenaran yang mutlak. Sebab, keimanan adalah pokok seluruh permasalahan.

Adapun yang termasuk dalam faktor ideologis adalah :

  1. Aqidah Ketuhanan

Teologi tauhid mempunyai pengertian yang beragam dan kontradiktif bagi para pemeluk agama yang tumbuh, berkembang, dan bersumber dari satu keluarga, yaitu Ibrahim. Dengan pernyataan yang berbeda itulah sering terjadi perbedaan pendapat dan terjadi perselisihan.

  1. Aqidah Keterpilihan

Aqidah ini termasuk aqidah yang sangat peka dan berperan penting dalam membentuk kesadaran emosional suatu umat agama tertentu. Pada prinsipnya aqidah ini lebih dikenal di kalangan agama-agama samawi di banding agama-agama lain.

Seperti dalam agama-agama samawi, contohnya:agama Yudaisme yang dalam kitab-kitab sucinya jelas-jelas menegaskan pemilihan tuhan kepada mereka. Jika dalam umat kristen, aqidah “keterpilihan” lebih didasarkan pada ajaran dan doktrin gereja yang menegaskan bahwa tuhan telah memilih Isa Al-Masih.

Sedangkan dalam Islam, keyakinan “keterpilihan”umat Islam oleh Allah, surat Ali-Imran:110, yang artinya :

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…………”

Karena masing-masing agama merasa bahwa dirinya terpilih, maka masing-masing agama mempertahankan atau membela agamanya masing-masing sehingga terjadi perselisihan antaragama.

  1. Aqidah Pembebasan dan Keselamatan

Konsep aqidah pembebasan dan keselamatan pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari konsep teologi ketuhanan dan teologi keterpilihan. Oleh karenanya, wacana teologi pembebasan dan keselamatan ini memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat dengan salah satu dari kedua keyakinan tersebut di atas tadi.

Aqidah tersebut di atas merupakan ciri yang sangat karakteristik dari semua agama baik yang mengakui eksistensi Tuhan dan agama yang tidak mengakui Eksistensi Tuhan, termasuk filsafat-filsafat dan aliran-aliran ideologi modern.

B. Faktor Eksternal

Yang termasuk faktor eksternal yaitu :

  1. Sosio-politis

Salah satu faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa yang kemudian mengarah pada arus globalisasi. Yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad.

Proses ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenal “liberalisme”yang menerompetkan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan, dan pluralisme. Meski dasar-dasar liberalisme semula tumbuh dan berkembang sebagai proses sosio-politis dan sekular, tapi kemudian paham ini tidak lagi terbatas pada masalah-masalah politis belaka.

  1. Faktor Keilmuan: Gerakan Kajian-kajian “ilmiah”Modern terhadap Agama-agama.

Timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi “ilmiah”modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga dikenal dengan studi Perbandingan Agama (Religionswissenschaft).


BAB II : Pluralisme Agama dalam perspektif Islam

A. Pluralisme dalam Islam

Pluralisme dalam Islam antara lain dapat dilihat dari kenyataan makhluk Allah, suku bangsa, bahasa, agama, partai/golongan, profesi, sumber daya, dan hukum.

1. Pluralisme makhluk Allah,

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa manusia bukanlah makhluk stu-satunya di dunia ini. Disamping manusia, ada jin, iblis, dan malaikat yang tidak dapat dilihat oleh manusia. Pluralisme makhluk Allah bertujuan menguji kemanusiaan manusia yang dapat patuh dan membangkang kepada Allah berdasarkan pilihan bebasnya tetapi dengan resiko yang harus diterima akibat pilihannya itu, baik di dunia maupun di akhirat

2. Pluralisme suku bangsa

Pluralisme suku bangsa disamping bernilai positif untuk kemajuan suku dan bangsa tersebut juga bersifat negatif ke arah terjadinya konflik dan penindasan antara sesama manusia. Islam meliht bahwa bersuku dan berbangsa adalah suatu yang normal, tetapi keadaan seseorang dalam satu suku bangsa tidak lebih baik dari seseorang yang berada di suku atau bangsa lain, kecuali yang berprestasi baik dalam ukuran moral.[7]

Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan dan dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa gar saling mngenal satu sama lain. Orang yang paling mulia diantara mereka adalah orang yang paling bertaqwa, dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya :

Pluralisme suku bangsa bertujuan untuk “fastabiqul Khairat” (kompetensi dalam melakukan kebaikan).

3. Pluralisme Bahasa

Pluralisme bahasa yang mengikuti pluralisme bangsa. Bangsa-bangsa berbudaya dan berperadaban melalui bahasa yang mereka ucapkan. Bahkan ada pepatah yang menyatakan”Bahasa menunjukkan bangsa”. Dalam Islam, bahasa menunjukkan kebesaran Allah, yang memberikan kemampuan kepada manusia untuk menyatakan apa yang ada dalam dirinya. Karena itu merupakan karunia dari Allah, manusia tidak boleh menyalahgunakan bahasa, baik dengan berbohong, berbicara yang tidak benar, menghalalkan haram dan halal, dan sebagainya.

4. Pulralisme Agama

Pada dasarnya manusia mempunyai kebebasan untuk meyakini agama yang dipilihnya dan beribadah menurut keyakinan tersebut. Fitrah adalah ciptaan,dan agama adalah ciptaan Allah. Sementara itu, manusia juga diciptakan oleh Allah. Sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi karena Opsi yang terbaik adalah memilih agama ciptaan Allah. Yang spanjang sejarah, disempurnakan dengan datangnya Rosul terakhir.

5. Pluralisme Partai

Dalam Islam, partai atau golongan disebut dengan hizb. Ciri partai dalam QS Ar-Rum ayat 32, yaitu :

“Setiap partai atau golongan gembira dengan apa yang ada pada mereka.”

Maksudnya adalah suatu partai/golongan yang diakui adalah bila timbul rasa kecintaan dan kebanggaan orang partai kepada partainya. Dalam Islam terdapat dua partai, yaitu partai Allah dan partai setan/iblis. Jika kesenangan partai masih pada batas kewajaran maka dapat disebut partai Allah.

6. Pluralisme Profesi (usaha yang diperoleh untuk mencari rezeki)

Pluralisme prifesi bertujuan positif yaitu menopang kehidupan bersama atas dasar saling membutuhkan antar sesama manusia dan bukan untuk kezaliman. Atas dasar ini Islam melarang penipuan, riba, bersikap curang, dan sebagainya. Sebaliknya Islam menganjurkan seseorang yang memiliki rezeki untuk berbagi rezekinya padaorang lain yang membutuhkan.

7. Pluralisme Sumber Daya

Implikasi pluralisme sumber daya ini adalah bahw seseorang tidak dapat menghalangi orang lain dalam masyarakat dan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama ia berjalan dalam qoridor hukum yang benar. Hal itu karena, Allah memberikan kebutuhan-kebutuhan hidup bagi semua manusia.

BAB III : Pluralisme syari’ah dan hukum

A. Pengertian Pluralisme Syariah dan hukum

1. Pengertian Pluralisme Syariah

Pluralisme syari’ah dalam pengertian khusus adalah seluruh agama yang dibawa oleh nabi Muhammad, sedangkn dalam arti sempit yaitu kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada orang dewasa melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits nabi.

Melihat kenyataan praktek syari’ah dalam sejarah, maka sebenarnya terdapat berbagai syariah yang berasal dari Allah, dan semuanya mengacu pada satu tujuan yakni menyembah Allah. Jadi dari segi praktek cara melaksanakan agama dalam sejarah terdapat pluralisme syari’ah tetapi dari segi iman dan keyakinan akan adanya Allah maka yang ada hanya monoisme syariah.

2. Pengertian Pluralisme Hukum

Pluralisme adalah suatu kenyataan dalam sejarah hukum Islam. Pluralisme itu ada dalam dunia Ahlus-Sunnah, Khawarij, dan Syi’ah. Karena itu dalam hukum Islam terdapat pendapat yang bervariasi tentang permasalahan tertentu. Begitu pluralnya pendapat hukum dalam Fiqih Islam sehingga hmpir tidak ada permasalahan hukum yang tidak mungkin dikembalikan pada pendapat fiqih tertentu.

Pluralisme sangat membantu para pencari hukum dan keadilan untuk menemukan hukum yang tepat bagi permasalahan yang dihadapinya. Pluralisme hukum tidak hanya telihat pada hukum fiqih atau hukum Islam, tetapi juga hukum adat dan warisan kolonial.


DAFTAR PUSTAKA

v Malik Thoha, Anis,Tren Pluralisme Agama (tinjauan kritis), Jakarta : Perspektif, 2005.

v Rumadi dkk, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005.

v Sukidi, Teologi Inklusif CAK NUR, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2001.

v Fathi Osman, Mohamed, Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan (pandangan Al-Qur’an, kemanusiaan, sejarah, dan peradaban), Jakarta : PSIK Universitas Paramadina, 2006.

v Shihab, Alwi, Islam Inklusif (menuju sikap terbuka dalam beragama), Bandung : Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 1998.



[1] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama,(Jakarta: Perspektif, 2005). hal 11

[2] Idem, hal 12

[3] Idem, hal 13

[4] Idem, hal 15

[5] Idem, hal 16

[6] Idem, hal 18

[7] Rumadi dkk, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam,( Bandung : Penerbit Nuansa, 2005). hal 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar